Thursday, June 18, 2020

Restart


Hi, apa kabarmu bertahan berpijak mengelola hati sambil bermandi matahari? Hidup sedang tak baik-baik saja. Sadar kita tak sendiri, seisi dunia sedang bergumul dengan hal yang sama. Lagu-lagu indie mungkin sudah bosan bertengger menenangkan hari dan tak lagi ampuh sebagai penghapus rindu yang tertahan atas segala aktivitas yang jadi rutinitas. Sudah berapa lama begitu? Sampai berapa lama lagi begitu?

Disini sama. Gelisah tak membuat tidur lepas dari pura-pura lelap. Diantara mata terpejam pun kepala tak berhenti mengolah ingatan-ingatan tak berujung. Sudah berapa lama begitu? Sampai berapa lama lagi begitu? Kita Lelah. Mereka Lelah. Semua Lelah. 

Parahnya, kelelahan pun akhirnya lelah untuk merasa lelah.

Ujungnya belum terlihat. Jawaban masih buram. Pintu jalan keluar selalu samar.

Untukmu, yang sedang, masih, dan selalu bertahan berpijak mengelola hati sambil bermandi matahari; kamu tak pernah sendiri. Kita sedang ada dalam fase sama meski tak serupa. Terbakar rasa yang sama walapun dengan bentuk yang berbeda. Ketika buku hanya mengantarmu ke jalan buntu, dan sewaktu alam tak sanggup mengantar jawaban, ketuklah dibalik hati. Kabarnya ada suara Tuhan disana. Tunggu saja. Bisa jadi lagi-lagi harus menunggu atau terdengar bisu. Konon berserah bukan berarti menyerah. Semoga semua membaik segera.


Berlutut, kirim saja doa-doa keatas sana!



Feeling so out of place 
You walked me home 
Lost track of time and space
(Tritonal & Brooke Williams - someone to love you) 

Monday, May 11, 2020

Odah


Beberapa sosok perempuan pernah, dan ada dalam tahapan perjalanan saya. Bahkan sedari kecil, saya tumbuh dalam lingkungan yang bernuansa perempuan. Saya lelaki satu-satunya yang bertahan hidup, setidaknya sampai keponakan pertama saya lahir dengan batang dan sepasang telor teruntai dibawah perutnya.


Sore tadi, sepulang dari prosesi ngaben salah satu anggota keluarga, memastikan motor sudah dalam keadaan terkunci dengan baik, seperti memunculkan ingatan tentang kehilangan kembali mencuat di kepala. Mengantar langkah rendah menuju ruangan yang sudah kosong lebih dari empat bulan. Nenek saya meninggal di akhir tahun lalu.

Kilas balik, belum lengkap berumur tujuh, keluarga kami kembali berduka setelah enam tahun sebelumnya kakek meninggal; bapak menyusul juga. Ingatan tentang para pejantan tersebut tidak banyak yang tinggal. Praktis Ibu yang menghidupi saya dan kakak harus banting tulang sambil bertahan dengan kesedihan. Kami dipaksa untuk mandiri lebih cepat dari seharusnya.

Ada nenek disana.

Marahnya tak pernah membuncah. Biasanya akan berakhir dengan ekspresi ngambek yang datar saja. Malah jadi lucu jika diingat kembali. Adalah slogan hemat dan hidup irit menjadi khas dalam tiap geraknya. Tak jarang kadang berakhir memalukan buat saya dan kakak khususnya sewaktu tidak pada tempatnya itu diimpelemtasikan. Konkretnya semisal untuk beberapa barang yang kami dapatkan berstatus bekas orang. Yang penting layak pakai kata beliau. Bahkan untuk barang yang bukan termasuk mewah sekalipun.

Makanan? Jangan harap ada daging empuk kalau bukan ibu yang menyediakan. Entah ini penghematan atau memang pelit.

Tapi diluar itu semua, beliau akan royal dalam diam. Tanpa bicara dengan sedikit kata, banyak hal-hal yang meruntuhkan ego filosofi hidupnya untuk saya dan kakak dalam bentuk materi. Mirip Paman Gober yang diam-diam membantu Donal Bebek dan para keponakannya saat buntu. Percaya. Beliau orang baik terlepas apapun kata orang tentangnya!


Kembali masuk ke ruangan kosong yang sudah lebih dari empat bulan tanpa penghuninya. Tak ada lagi kursi roda, tape versi lama, dan kasur sederhana tempat kami biasa bertukar kata sembari membereskan bekas muntahan hasil dari lambung beliau yang tak lagi menerima asupan makanan. Kotak obat yang penuh dengan pil penambah darah, penguat tulang, penghilang nyeri, dan bermacam fungsi lainnya sudah raib entah dimana. Setiap detail tata letak benda masih erat dalam ingatan saya. Ada kursi merah sebelah tempat popok yang menjadi porsi duduk saya yang menunggu beliau berangkat terlelap atau bangun dari tidurnya. Biasanya ada meja plastik berwarna hijau tempat roti, susu, remote TV, HP, bel pemanggil, dan kombinasi antara jus apel dan pepaya mengapit tongkat berkaki tiga yang membantu beliau bangkit dan menegakkan badannya yang tak lagi tegak. Senyumnya sudah jarang terlihat ketika itu, pun ingatannya atas waktu antara matahari terbit atau bulan muncul sudah mulai samar. Peran saya disana. Membangun ingatan-ingatan beliau dan melempar berita tentang dunia. Membungkus dengan canda dan mimpi-mimpi akan kemana kita nantinya di hari dimana sehat akan datang memulihkan semuanya. Pantai, Pura, tempat makan, sampai angan-angan plesir keluar negeri. Tentu akan dicibir olehnya, tapi senang saja bahwa interaksi masih terjadi.

Trenyuh ketika hati saya bimbang di satu subuh untuk mengejar jadwal penerbangan. Ragu apakah pamit dan membangunkan nenek yang masih pulas, atau berangkat saja, toh nanti bisa dihubungi via telepon. Lagipula masih aman, seperti kata dokter yang baru saja kami kunjungi beberapa hari sebelumnya. Surat rujukan laboratorium yang rutin kami kunjungi juga sudah dikonfirmasi oleh staff yang akan datang kerumah. Tak perlu repot pergi. Dan akhirnya logika saya lebih memilih memburu waktu menuju pesawat terbang yang sudah menanti.

Sayangnya, takdir berkata beda. Jadwal belum mengijinkan pulang, dan kabar mengantar beliau sedang berjuang terbaring dengan berbagai alat penyokong nyawa. Apa yang salah pikir saya. Padahal seminggu sebelumnya sudah saya pastikan bahwa semuanya bisa saya tinggal dengan aman. Dokter pun memberi garansi bahwa kondisi nenek datar tanpa tanda lonjakan negative. Memberi rasa nyaman bagi saya pergi dan menitipkan semua dengan sistematis ke semua orang rumah.

Beliau berpulang tanpa sempat kami bercakap seperti rutinitas biasanya. Penyesalan terbesar adalah saya tak ada disana. Menyalahkan waktu yang seringkali datang tidak pada waktunya, atau saya yang seringnya mengingkari dan tak mampu menangkap sinyal waktu. Yang pasti, dan selalu dari dulu, kadang yang menyakitkan dari perpisahan adalah kita tak pernah tahu bahwa waktu itu adalah waktu terakhir dari sebuah waktu.


Ruangan ini sudah kosong lebih dari empat bulan. 
Meletakkan ingatan-ingatan tentang kami yang hanya mampu menjadi untain cerita dengan mimpi tanpa isi.

Saturday, February 1, 2020

Would it be okay if I came home to you?


Bepergian akan mengajarkanmu tentang banyak hal. Tentang luasnya dunia, tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, tempat-tempat yang kembali dikunjungi, dan tempat-tempat yang ingin tapi belum pernah didatangi. Tentang orang-orang yang berbeda, tentang cuaca yang tidak sama, tentang cinta yang ada atau pernah ada atau akan ada, dan tentang cerita yang kemudian menjadi cerita yang bisa diceritakan, disimpan, atau malah dilupakan.

Apapun itu, yang pasti, bepergian selalu mampu mengalirkan penyelewengan dari rutinitas. Untuk sekedar kembali mendongakkan mata keatas mengagumi birunya langit dan cemburu pada indahnya jingga awan sore, menyadari ada atau tidaknya sinar matahari, menikmati hujan dan dinginnya angin yang mungkin terlihat sama namun terasa berbeda ditempat yang tidak biasanya. Bisa jadi bukan dengan orang-orang yang sama, atau dengan orang-orang yang istimewa, atau dengan orang-orang yang tak pernah bertegur sapa.

Bepergian mungkin membawa kita jauh dari rumah, atau bisa jadi mengantar kita pada rumah sebenar-benarnya rumah yang selama ini dirindukan. Bagi sebagian orang tempat baru bisa jadi hanya persinggahan keluar sementara dari zona nyaman, tapi ada juga orang-orang yang malah menemukan sangkar baru yang kemudian membuat hati terasa teduh disana. Kenyamanan bagi pejalan waktu yang merasa terganggu dengan masa lalu, atau kebuntuan bagi mereka yang penasaran dengan masa depan.

Dunia yang besar, menawarkan tempat yang luas bagi hati gelisah yang selalu bertanya tanpa pernah menemukan jawaban. Biasanya, ada orang-orang yang menuntut hal tersebut. Berharap akan ada pencerahan atas apa yang harus dilakukan atau kemana harus melangkah. Hanya saja, dunia seringkali tidak peduli dengan itu semua. 

Tidak ada alasan untuk itu.

Kenapa juga dunia harus menaruh perhatian tentang hal-hal sederhana yang dibisikkan hati tanpa terdengar olehnya?

Semesta tidak berhutang pada manusia, atau paling tidak, ia tak pernah punya hutang dengan saya atau orang-orang seperti saya. Toh, matahari akan tetap terbit dan bulan juga akan tetap berotasi bersama bumi. Pun dunia tak pernah berhutang pada orang-orang hebat yang namanya terukir dalam buku-buku sejarah atau mereka yang menang pemilu dari tingkat dua ataupun mereka yang mengumandangkan nama sampai terkenal dalam skala gobal. Memangnya apa sih peran kita selain hanya berkontribusi pada polusi atau kontaminasi dalam bentuk-bentuk yang tak pernah disadari?

Masalahmu hanyalah masalahmu. Masalahmu tidak pernah ada hubungannya dengan keagungan alam dan isinya yang mungkin tak pernah peduli dengan semua disekitar kita yang terus saja berubah.


Pergilah. 

Bepergian mungkin membawa kita jauh dari rumah, atau bisa jadi mengantar kita pada rumah sebenar-benarnya rumah yang selama ini dirindukan.


..but I see the world so different now
But, there's a place by the sea and that's my town
When I don't know what to say
When I don't know what to do
There's a room I need to sit in
Surrounded by my favorite view
When I need a hand to hold
Someone to tell the truth
Would it be okay if I came home to you?
-Sigrid - Home to You-